Home » Kongkow » Materi » Polisi Internet RI Mau Sikat Pornografi, Judi, dan Hoax

Polisi Internet RI Mau Sikat Pornografi, Judi, dan Hoax

- Rabu, 03 Januari 2018 | 10:50 WIB
Polisi Internet RI Mau Sikat Pornografi, Judi, dan Hoax
Jumat, 29 Desember 2017, akan menjadi hari bersejarah bagi dunia Internet Indonesia. Pada hari itu, Kementerian Komunikasi dan informasi akan menerima mesin sensor internet dari PT Inti (Persero) atau Industri Telekomunikasi Indonesia selaku pemenang tender.

Serah terima ini sekaligus peresmian beroperasinya 'polisi internet' pada awal Januari 2018. Keberadaan mesin sensor ini sempat ditakutkan penggunanya di Indonesia, lantaran ditengarai sebagai mesin untuk mematai-matai warganya.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika dari Kementerian Komunikasi dan Informasi, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan mesin sensor ini pengembangan dari Trust Positif yang ada di bawah unit Direktorat Keamanan Kominfo.

Ia menuturkan mesin sensor Internet ini mengunakan sistem crawling, yakni mesin tersebut akan menganalisa secara otomatis sesuai kriteria konten negatif yang ditetapkan.

Konten negatif yang dimaksud merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya dasar hukumnya di Pasal 2 dan Pasal 40 ayat (2).

"Secara ideal melakukan penapisan bisa dimulai dari IP filtering, hosting, URL ataupun dari kontennya. Untuk melakukan itu semua, maka dari itu kami harus memilih yang mana melanggar aturan," kata Sammy, sapaan akrabnya, Selasa, 19 Desember 2017.

Didominasi Pornografi dan Judi

Menurut Sammy, konten negatif yang dilaporkan masyarakat ke Kominfo hampir mencapai 800 ribu. Rinciannya, 700 ribu didominasi oleh aduan konten pornografi dan judi, serta lainnya seperti hoaks, ujaran kebencian, terorisme dan obat-obatan terlarang (narkoba).

"Dengan mesin sensor, Kominfo memasang target 30 juta konten pornografi bisa langsung dihapus dari Internet Indonesia,” ungkapnya.

Ia juga menegaskan bahwa mesin sensor bukan mesin penyadap penggunaan internet yang memakai sistem Deep Packet Inspection (DPI). Salah satu realisasi DPI adalah pemantauan atau surveillance dan pemblokiran.

Sistem tersebut diterapkan di router untuk memantau aliran data secara real-time dan melakukan tindakan atas aliran tersebut, sehingga dikhawatirkan bakal menggerus privasi pengguna internet di Indonesia.

"Crawling adalah sistem yang digunakan secara jamak di Indonesia. Analisa media sosial juga mekanismenya crawling. Kita tidak pakai sistem DPI seperti yang diterapkan di Amerika serikat dan China," ungkapnya.

Tak hanya itu, mesin sensor ini dipastikan fungsinya tidak akan bertabrakan dengan Badan Siber Nasional dan Sandi Negara (BSSN).

Sebab, hanya menangkal konten yang melanggar UU ITE. Sementara, BSN lebih memperhatikan perkara keamanan siber. Pengelolaan mesin yang bernilai Rp211 miliar ini tetap di bawah kendali Kominfo.

Menanggapi usulan lembaga swadaya masyarakat Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) yang mendorong dibutuhkan berdirinya badan independen untuk melakukan sensor karena kekhawatiran terjadinya sensor yang tidak adil, diungkapkan Sammy, kalau hal tersebut tidak perlu.

Alasannya, undang-undang yang ada saat ini tak menyebut perlunya badan independen untuk melaksanakan penapisan. Meski begitu, ia menjamin Kominfo sebagai pelaksana bakal terbuka dalam tata cara mesin sensor internet dan apa saja yang dilakukan dengannya.

Ciptakan Ketakutan

Deputi Direktur Riset Elsam, Wahyudi Djafar, menuturkan metode crawling sama saja dengan pengumpulan data dengan pengawasan atau surveillance. Metode ini dilakukan dengan cara memonitor situs-situs yang dikunjungi pengguna.



Wahyudi menjelaskan, penerapan mesin sensor yang kabarnya akan dijalankan pada 2018, dan makin kompleks seiring penerapan kewajiban registrasi prabayar pelanggan seluler berbasis Nomor Induk Kependudukan dan e-KTP.

"Dengan nomor (seluler) terdaftar dengan catatan kependudukannya itu, berpotensi mem-profiling orang dengan mudah. Akses mudah apa saja, mesin crawling bisa profiling, yang targetnya orang," tuturnya.

Metode crawling itu, menurut Wahyudi, juga akan menciptakan ketakutan bagi pengguna internet. Pengguna yang online bakal merasa was-was, merasa diawasi dan khawatir menjadi korban profiling mesin sensor tersebut.

Hal yang lebih penting lagi, kata Wahyudi, mesin sensor tersebut hadir pada saat aturan dan penerapan penapisan konten negatif di Indonesia masih lemah, baik dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik maupun aturan lainnya.

Dengan kondisi itu, Wahyudi merasa, hingga saat ini tak ada jaminan data privasi warga negara saat berselancar di internet, dilindungi negara. Selain itu, mesin sensor itu apakah bisa memastikan hak atas informasi warga negara bisa terpenuhi.

"Kalau (mesin sensor internet) itu untuk penegakan hukum itu legal, tapi bagaimana memastikan itu hanya untuk penegakan hukum, sedangkan aturan penapisan kami sampai hari ini belum clear," ujarnya. (***)
Cari Artikel Lainnya