Home » Kongkow » Materi » Mengenang Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi pada 5 Februari

Mengenang Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi pada 5 Februari

- Jumat, 05 Februari 2021 | 10:00 WIB
Mengenang Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi pada 5 Februari

5 Februari menjadi tanggal bersejarah, di mana tepat pada tanggal tersebut menjadi peritangan Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi. Tak banyak orang yang tahu, bahwa pada 5 Februari 1933 adalah momen terjadinya peristiwa besar dan tercatat dalam sejarah Indonesia.

Mengenang <a href=Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi pada 5 Februari " src="https://i2.wp.com/seruni.id/wp-content/uploads/2021/02/Kapal-Tujuh.png?resize=696%2C578&ssl=1" style="height:332px; width:400px" />

id.wikipwdia.org

Untuk menambah ilmu pengetahuan kita akan hari bersejarah ini, berikut kami berikan ulasannya:

Terjadinya Pemberontakan di Atas Kapal Laut

Pemberontakan menentang kolonial Belanda saat itu terjadi di atas kapal angaktan laut HNLMS (Her Netherlands Majesty’s Ship) yang merupakan bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Adapaun penyebab terjadi pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provincien) yakni karena adanya pemotongan gaji sebesar 17% secara tidak adil oleh Hindia Belanda terhadap para pekerja pribumi.

Pemotongan gaji tersebut adalah salah satu upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi defisit anggaran belanja akibat depresi ekonomi yang melanda dunia saat itu. Aksi mogok besar-besaran itu, dilakukan oleh para anggota Korps Marinir pribumi Angkatan Laut Belanda pada 3 Februari 1933 di Surabaya. Bahkan, kabar itu pun sampai terdengar oleh Maud Boshart, pelaut Belanda yang bertugas di atas Kapal Tujuh Provinsi ketka patroli di sebelah barat Aceh, pada 30 Januari 1933.

Menanggapi hal tersebut, para pelaut di Kapal Tujuh yang saat itu sedang mengadakan rapat, di antara Rumambi, Paraja, Hendrik, dan Gosal. Mereka menyatakan simpatinya kepada rekan-rekannya yang melakukan aksi mogok di Surabaya. Dalam rapat tersebut, mereka berharap para ABK yang berada dalam kapal tersebut tidak meniru aksi mogok.

“Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga di kapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji,” kata Ekeneboom, komandan Kapal Tujuh.

Dua ABK Indonesia Memimpin Gerakan Pemberontakan

Namun, pidato bernada ancaman tersebut justru membuat dua orang ABK berdarah Indonesia memimpin gerakan untuk memberontak di Kapal Tujuh tersebut. Mereka pun kemudian melancarkan aksi pemberontakan itu, ketika para pelaut Belanda sedang mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue Aceh pada 4 Februari 1933. Dalam pesta tersebut, pelaut Belanda menghabiskan uang sekitar 500 gulden. Tak tanggung-tanggung, mereka pun menyediakan nona-nona untuk berdansa dengan pelaut pribumi.

Namun, saat pesta berlangsung, tak tampak satu pun pelaut pribumi. Ketika seorang Letnan kembali ke kapal, ia dibuat terkejut, lantaran melihat perwira jaga kapal tewas di tangga. Tidak membutuhkan waktu lama, ternyata kapal sudah dikuasi oleh marinir Indonesia yang bersenjata lengkap di bawah pimpinan Martin Paradja dan Gosal.

Tepat pada tanggal 4 Februari pukul 22.00 malam, tedengar peluit panjang yang menjadi tanda bahwa pemberontakan akan segera dimulai. Awak kapal keturunan Indonesia dipimpin oleh Paraja dan Gosal, sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd. Sebagian dari mereka memegang tugasnya masing-masing. Seperti Kelasi Paradja bertindak sebagai pemegang komando, Kelasi Kelas Satu Kawilarang sebagai navigator, Kelasi Rumambi berada di bagian komunasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan bakar, sedangkan Kopral Gosal bertugas di bagian kesehatan.

Kemudian, pada 5 Februari, pimpinan pemberontak mengeluarkan siaran per dalam tiga bahasa. Yakni Belanda, Inggris, dan Indonesia (Melayu). Dalam siaran tersebut, mereka memberitahukan bahwa Kapal Tujuh telah diambil alih dan sedang beregrak ke Surabaya.

“Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan!” tulis pemberontak dalam siarakan persnya.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Kalang Kabut

Pemerintah kolonial Hindia Belanda pun dibuat kalang-kabut oleh berita pemberontakan tersebut. Hingga membuat Gubernur Jenderal De Jonge memerintahkan kapal Hr Ms Aldebaren untuk mengejar. Setelah kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang yang bertugas di persenjataan, memberikan sinyal hendak menembak jika kapal tersebut berani mendekat.

Hingga 5 Februari 1993 yang menjadi Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi, Kapal Tujuh terus berlayar dan sudah berada di Pulau Breueh. Berlanjut pada tanggal 6 Februari berada di Pulau Simeulue, kemudian mereka singgah di Sinabang pada 7 Februari, dan 10 Februari 1993 Kepal Tujuh tiba di pelabuhan terakhirnya, yakni di Selat Sunda.

Namun, begitu memasuki Selat Sunda, kapal perang Hr Ms Java, dikawal oleh dua kapal torpedo, Hr Ms Piet Hien dan Hr Ms Evesten, di mana mereka langsung membayangi gerakan Kapal Tujuh. Untuk benar-benar melumpuhkan pemberontak di Kapal Tujuh dikerahkan pula sebuah pesawat pengebom Dornier.

Komandan Kapal Perang Java, yakni Kapten Van Dulm, meringirimkan sinyal peringatan kepada Kapal Tujuh untuk segera menyerah. Namun, Martin Paradja bersikeras untuk tetap melanjutkan aksi tersebut. Menteri Pertahanan Kerjaan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers pun memberikn izin untuk melakukan penyerangan dengan pesawat militer.

Dijatuhkannya Bom dan Menewaskan Paradja

Pada Jumat 10 Februari 1933, tepat pukul 09.18 WIB, adalah kali pertamanya bom berukuran 50 kg dijatuhkan, tapi belum juga mengenai sasaran. Kemudian mereka menjatuhkan bom kedua dan tepat mengenai geladak kapal. Pemberontak memberikan perlawanan, akan tetapi hal tersebut sia-sia. Sebab, Kapal Tujuh tidak memiliki persenjataan penangkis serangan udara.

Martin Pradja tewas dalam serangan tersebut, sejumlah orang lainnya mengalami luka-luka. Sedikitnya 20 orang awak pribumi dan 3 awak Belanda juga dinyatakan tewas akibat serangan itu. Melihat banyaknya korban yang berjatuhan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, mengaku menyerah dan segera meminta bantuan dari tim medis.

Semenatara, para pemberontak pribumi yang masih hidup dibawa dengan kapal Hr Ms Java dan pemberontak Belanda dibawa dengan kapal Hr Ms Orion menuju Pulau Ornust. Jika ditotal, sebanyak 545 orang awal pribumi dan 81 awak Belanda pun ditahan.

Selepas kematian Paradja, Kawilaranglah yang menggantikan posisinya sebagai pemimpin. Ia justru dijathui hukuman 18 tahun penjara. Begitu pun dengan Maud Boshart, yang dikenak hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan yang lainnya, ada yang hanya 4 hingga 6 tahun. Para pemberontak Kapal Tujuh akhirnya ditahan di Pulau Ornust, Kepulauan Seribu. Sebagian besar dari mereka yang telah meninggal dunia pun dikebumikan di pulau tersebut.

Pemberontakan kapal Tujuh tercatat sebagai pemberontakan anti-kolonial pertama di kalangan para pelaut Indonesia. Andre Therik, seorang yang terlibat dalam pemberontakan itu, pernah mengatakan:

“Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”

Itulah awal dari peringatan Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi. Semoga dengan adanya artikel ini, kita dapat mengenang sejarah yang terjadi di masa lampau dan menjadikannya sebuah pelajaran. Semoga bermanfaat.

Cari Artikel Lainnya