Home » Kongkow » kongkow » Uji Coba Riset Pada Hewan Tidak Selalu Sama dengan Manusia, Kenapa?

Uji Coba Riset Pada Hewan Tidak Selalu Sama dengan Manusia, Kenapa?

- Senin, 14 September 2020 | 11:00 WIB
Uji Coba Riset Pada Hewan Tidak Selalu Sama dengan Manusia, Kenapa?

Untuk menguji efektivitas tanaman herbal, obat, maupun penyakit, dibutuhkan penelitian mendalam. Nah, periset sering kali menggunakan hewan sebagai bahan percobaan. Namun, tidak semua penelitian berbasis hewan ini memberikan efek yang sama pada manusia. Apa alasannya?

Kenapa penelitian banyak yang menggunakan hewan?

Binatang tidak hanya menjadi sahabat bagi manusia, tapi juga bahan percobaan untuk penelitian. Sebut saja tikus, kelinci, anjing, kucing, dan simpanse, hewan-hewan ini sangat umum digunakan sebagai hewan percobaan.

Umumnya, penelitian yang dilakukan sangat berhubungan dengan dunia kesehatan, contohnya penemuan obat atau teknik pembedahan baru. Kenapa penelitian tidak langsung diterapkan pada manusia, melainkan pada hewan?

Penelitian tidak akan diujikan pertama kali pada manusia untuk mencegah terjadinya kegagalan yang berakhir dengan kerusakan, gangguan, kecacatan, maupun kematian. Untuk menghindari risiko tersebut, itulah sebabnya binatang menjadi objek pengganti untuk diketahui keamanan dan efektivitasnya.

Menurut laman National Academy Press, hewan juga memiliki kesamaan biologis dengan manusia sehingga menjadi bahan percobaan yang baik untuk beberapa penyakit tertentu. Contohnya, periset menjadikan kelinci untuk mengetahui perkembangan penyakit aterosklerosis dan monyet untuk mengembangkan vaksin polio.

Namun, penelitian hewan tidak selalu efektif pada manusia

fungsi otak manusia

Walaupun memiliki kesamaan biologis, penelitian berbasis binatang tidak selalu menunjukkan hasil yang efektif pada manusia.

Peneliti dari Institute Allen di Seattle menyelidiki hal ini secara mendalam. Mereka mengamati perbandingan jaringan otak dari pasien epilepsi yang sudah meninggal dengan otak tikus.

Bagian otak yang diamati adalah girus temporal medial, yakni area otak yang berfungsi untuk memproses bahasa dan penalaran deduktif. Setelah dibandingkan, sel otak yang ada pada tikus mirip dengan sel otak manusia. Namun, peneliti juga menemukan perbedaan, yakni reseptor serotonin.

Serotonin adalah hormon yang dihasilkan otak untuk mengatur nafsu makan, suasana hati, memori, dan keinginan tidur. Sel reseptor yang ada pada manusia tidak ditemukan pada sel yang sama di hewan penelitian ini.

Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa hasil uji obat depresi yang bekerja untuk meningkatkan kadar serotonin, akan dialirkan ke sel otak yang berbeda antara manusia dan tikus.

Selain sel reseptor serotonin, periset juga menemukan adanya perbedaan pada ekspresi gen yang membangun koneksi antar neuron (saraf). Itu artinya, peta yang menggambarkan hubungan antar saraf di manusia akan terlihat berbeda dengan yang tampak pada tikus.

Peneliti percaya bahwa perbedaan tersebut menunjukkan bahwa otak manusia dan sistem saraf manusia, jauh lebih kompleks dari pada hewan.

Pasalnya, otak manusia tidak hanya bertanggung jawab untuk mengatur pergerakan, komunikasi, daya ingat, persepsi, dan emosi, tapi juga penalaran moral, keterampilan berbahasa, dan belajar.

Jadi, kesimpulannya …

Penelitian berbasis hewan tidak 100% menunjukkan efek yang sama jika dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, penelitian tersebut perlu dilakukan peninjauan berulang kali.

Namun, dengan adanya penelitian dengan hewan sebagai bahan percobaan bisa menjadi memberikan harapan para ilmuwan mengenai bidang kesehatan dan pengobatan di masa depan.

Bahkan, bila sudah diujicobakan pada manusia, perlu memenuhi berbagai ketentuan, yakni dilakukan skala besar dan dilihat berbagai faktor yang memengaruhi, seperti usia, jenis kelamin, masalah kesehatan, atau kebiasaan.

Cari Artikel Lainnya