Home » Kongkow » kongkow » Membangkitkan Pemikiran Kritis Murid

Membangkitkan Pemikiran Kritis Murid

- Senin, 05 Oktober 2020 | 16:00 WIB
Membangkitkan Pemikiran Kritis Murid

Murid: "Pak besok pakai seragam apa, bawa tas dan buku apa tidak, Pak? (Lain waktu ketika belajar; Soalnya dibuat apa tidak, pak?)"

Guru: "Pertanyaanmu bagus dan pelapalannya lancar."


Murid: "Terima kasih, Pak. Memang saya sejak kelas 1 sampai kelas 6 ini hanya berani bertanya pada guru tentang itu saja."

Guru: "Mental itu yang harus kamu ubah, beranilah bertanya tentang pengetahuan yang belum kamu pahami selama kelas 6 ini, sudah 5 tahun kamu lewatkan tanpa mau bertanya tentang pelajaranmu!"

Murid: "Insyaallah saya usahakan, Pak!"

Guru: "Itu baru murid mental pemenang, tanya-jawab termasuk dasar pengetahuan. Adakalanya pertanyaan itu lebih penting dari jawaban. Kadang orang bisa menilai kita dari mutu pertanyaan kita. Rajinlah bertanya!"


Murid: "Tapi saya malu sama kawan bertanya pelajaran itu, Pak! Takut salah, takut dibilang tak tahu apa-apa oleh teman, dan takut dicemooh."

Guru: "Oh, itu logika keliru. Kita belajar benar dari kesalahan yang pernah kita buat. Tak perlu malu, malulah tak punya ilmu. Orang yang tak punya cukup ilmu 'sesat' dalam banyak hal. Mudah ditipu dan 'dibodohin' orang lain."


Murid: "Lidah saya seolah keluh saat mau bertanya, Pak. Terasa tak pandai menyusun kata-katanya. Makanya saya lebih sering bertanya sama google, Pak!"

Guru: "Caranya, tuliskan pertanyaanmu di secarik kertas, bacakan atau sodorkan pada guru. Boleh saat keluar main. Saat nampak gurumu santai, saat bapak/ibu gurumu urus tanaman juga boleh bertanya. Bertanya sama google bagus, namun kamu harus pandai memilah mana berita benar dan yang palsu."

Murid: "Iya, Pak. Namun, untuk membuat kalimat tanya tertulis saya harus berpikir lama. Saat ada keinginan bertanya saya selalu menunda-nunda tunjuk tangan, Pak."

Guru: "Makanya, ketika terlintas ingin bertanya langsung saja action, tunjuk tangan! Semakin banyak dirimu bertanya semakin bermakna ilmu yang kamu tanya itu di benakmu (tidak mudah lupa). Untuk membuat kalimat pertanyaan yang baik kamu perlu berlatih dan perlu berbuat."

Murid: (Tak sanggup rasanya, aku malu, aku tak berani, di mana mukaku kalau pertanyaan dipatahkan guru dan teman. Biarlah begini terus).  Kata murid dalam hati.

Jarang kita menemukan anak yang kritis, yakni anak bersifat tidak lekas percaya. Bersikap selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan. Tajam analisanya sehingga Ia menemukan kelainan baru yang belum terpikirkan sebelumnya. Akhirnya ia ingin bertanya karena ada rasa ingin tahu.

Misalnya ketika pelajaran matematika. Sebagaimana kita ketahui, urutan belajar itu sistematis dari termudah ke hal yang tersulit. Anak-anak akan kesulitan memahami bangun ruang jika belum memahami bangun datar. Mereka akan sulit memahami tabung jika belum faham hal-ihwal bangun datar lingkaran. Lingkaran memiliki luas dan keliling yang dapat diukur. Lagipula manusia membuat benda-benda yang berbentuk lingkaran juga butuh acuan ukuran.

Ketika materi luas dan keliling lingkaran, kita menerangkan bahwa rumus Luas lingkaran, L=   x r x r. Keliling lingkaran adalah K= x d. Dengan nilai = 3.14. Anak kritis 'nyeletuk', "Kok 3.14, Pak? Mengapa tidak bilangan lain saja?"  Dalam bahasa yang lebih sederhana kita jelaskan bahwa = 3.14  itu adalah angka yang akan (selalu) didapatkan jika kita membagi keliling setiap benda bundar dengan diameternya sendiri.

Keliling roda motor dibagi diameter roda motor = , Keliling donat dibagi diameter donat = . Semua anak biasanya terima saja ketentuan itu dan kita mengatakan ini adalah sebuah rumus. Sebuah ketentuan pasti yang tak boleh diubah. Anak kebanyakan tak ambil pusing. Bahkan mendengar kata rumus makin membuat pikiran mereka tak menentu, namun anak kritis akan bertanya terus. " itu asalnya dari mana, Pak?" Maka jawaban kita.  "  bukan dicari, tetapi justru ditemukan, bahwa tiap benda bundar kalau keliling dan diameternya dibagi, ternyata hasilnya selalu sama, yakni = 3.14. 

Anak yang otaknya jalan akan menelisik terus. Maka akan timbul pertanyaan. "22/7 itu bagaimana pula, Pak?" Tentu kita harus siap menjawab pertanyaan "sibiran" ini. Kemampuan dan kemauan bertanya anak seperti contoh tersebut hampir tidak ada setiap harinya. Saat mengajar seolah kita menghadapi banyak boneka lucu dan lugu tanpa mampu merangkai dan mengucap kalimat tanya sepatahpun. 

Mengapa mereka tidak bertanya? 

  1.  Kebanyakan karena 'otak anak tak jalan'. Otak anak tak mau 'nyiyir' memikirkan hal lain selain yang sudah ada pada teks. 
  2. Mereka malu jika ternyata membuat pertanyaan 'bodoh' (tak bermutu). 
  3. Mereka kekurangan kosa kata karena minimnya minat membaca. Kurang membaca berarti anak juga jarang menulis mandiri. Kurang minat baca juga menyebabkan anak tidak bisa menghubung-hubungkan satu materi ke materi lainnya (kaku). Akhirnya selalu bersikap uncriticall.
  4. Stimulasi dan permainan (Seperti mengisi TTS) otak anak yang kurang (juga pembicaraan yang bermutu) sejak pengasuhan hingga sekarang.  Itulah beberapa penyebab anak kita sulit menyusun kalimat tanya sesuai topik dan materi saat itu. 

Jadilah kita seperti sikap guru kita dulu dengan berujar, "Kalau kalian tak mau bertanya, bapak/ibu lagi yang bertanya", tetap juga anak tak tertantang. Padahal, semakin kritis anak (banyak pertanyaan) semakin mudah Ia menjawab soal ujian. Diwacana yang lebih luas lagi, tentu membuat mereka mampu menjawab persoalan hambatan kehidupan kelak.

Begitulah sehari-hari kita, Saat anak diberikan suatu informasi, 'ditelannya mentah-mentah' tanpa daya kritisi yang timbul dari benaknya. Maksudnya anak tak mau menghayati, menguliti lebih dalam sebuah informasi sehingga muncul kelit penasaran atau terbersit hal lain yang mungkin saja satu kesatuan, atau terpisah. 

Ketidakmampuan bertanya anak akan berakibat makin sulit memahami materi lebih baik lagi. Terganggu kemampuan berbicara di depan umum (public speaking) sehingga di pendidikan lebih tinggi nanti mengalami kesulitan presentasi hasil kerjanya.

Bagaimana solusinya? Tiba-tiba ada undangan buat kita untuk  mengikuti lari 10 Km seminggu lagi. Akankah kita langsung ikuti kejuaraan lari tanpa latihan? Otot kaki kita akan tegang dan kram karena tanpa latihan lari sebelumnya.

Demikian pula kemampuan mengajukan pertanyaan, juga butuh latihan. Keterampilan bertanya membutuhkan latihan, latihan, pendampingan, dan keberanian. Jika seorang anak (atau orang dewasa) ditempatkan di lingkungan yang tidak mendorong pertanyaan aktif, keterampilan itu tidak akan pernah ada (Sekolah dan rumah). Dialog satu arah di sekolah akan selamanya terjadi.  Padahal, tujuan dan praktik tanya jawab aktif telah berakar sejak tradisi filosofis kuno. Socrates terkenal karena menggunakan pertanyaan untuk menyelidiki validitas asumsi, menganalisis logika argumen, dan mengeksplorasi hal yang tidak diketahui. Pertanyaan murid dijadikan sarana untuk mendidik murid-muridnya dengan menarik pemahaman mereka tentang sebuah subjek dan kemudian mengarahkan mereka untuk menemukan serangkaian kesimpulan logis.

Begitu juga Nabi Muhammad SAW dengan ummatnya. Seperti seorang suku Badui yang menanyakan hal ihwal berita yang terimanya, ia tanya kepastiannya langsung pada Nabi. Sang Badui telah berpikir kritis dari berita yang didengarnya.

Akhirnya, kembali pada kreatifitas kita pendidik (juga orang tua) yang harus mampu menyiapkan pertanyaan dan memancing datangnya pertanyaan untuk membangun kedalaman dan kompleksitas pemahaman anak. Terus galakan prinsip 5W dan 1H (what, why, who, when, where, how atau apa, mengapa, siapa, kapan, di mana, bagaimana).

Daya kritis dibutuhkan anak, semakin kritis semakin kuat ilmu bertahan dan berkembang di otaknya. Sebagaimana  Jon Strattonkatakan; "Tujuan berpikir kritis adalah memikirkan kembali: yaitu, mengkaji, mengevaluasi, dan merevisi pemikiran". 

Sikap kritis terhadap apa yang kita baca, dengar dan lihat adalah daur hidup pengetahuan.

Cari Artikel Lainnya